Sentani Jayapura, indotime.com — Pagi itu, langit biru seperti tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi di dalam pesawat putih PK SMH, badai sedang berkecamuk. Tak terduga. Pesawat milik PT Semuwa Aviasi Mandiri (SAM Air) jatuh. Hancur berkeping.

Minggu, 20 Oktober 2024. Tepat pukul 07.03 WITA, pesawat lepas landas dari Bandara Djalaluddin Gorontalo. Tujuannya sederhana: Bandara Bumi Panua Pohuwato. Tapi, hanya dalam 19 menit, pukul 07.22, semuanya berubah. Pesawat hilang kontak. Dunia seakan terhenti. Ada keheningan panjang yang tak terjawab.

Hariyanto, Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Gorontalo, hanya bisa menunduk. Suaranya tak lagi lantang. “Kapten M. Saefurubi A (Pilot). Arthur Vico G (Co-Pilot). Budijanto (Engineer). Sri Meyke Male (penumpang)…” satu per satu nama-nama itu disebut. Nama-nama yang tak akan kembali.

“Mereka sempat kontak,” katanya pelan. “Lalu hilang… begitu saja.”

Langit tetap bisu. Pohuwato menyimpan misteri. Tim SAR segera bergerak. Seperti lebah, mereka menyisir lokasi. Dari Babinsa Randangan hingga warga setempat ikut membantu. Tapi apa yang bisa diselamatkan? Tidak ada. Pesawat itu tak lagi hidup.

Di balik reruntuhan, ada tangis yang tak terucap. Agus Hidayat, pemilik SAM Air, pengusaha sukses asal Baranti, Sidrap, merasakan duka paling dalam. Bukan hanya soal pesawatnya. Itu soal kedua. Yang utama adalah manusia. Anak buahnya. Teman-temannya.

“Saya sangat berduka,” ucap Agus dengan suara yang hampir hilang. Matanya menerawang, jauh. “Ini bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tapi bagi kita semua. Kami akan lakukan investigasi penuh.”

Agus, yang sekarang duduk di DPRD Jayapura, tak sedang bicara sebagai pejabat. Saat ini, ia hanyalah seorang manusia. Seorang pengusaha asal Sidrap yang sedang kehilangan. Yang jiwanya juga jatuh bersama pesawat itu.

Langit Pohuwato tenang. Tapi di bawahnya, ada kisah yang tak akan pernah selesai.(*)

Dapatkan berita terbaru di Indotime.com