Wajo, indotime.com — Debat publik perdana. Ruangan penuh. Sorot mata tertuju pada satu pasangan—H. Amran Mahmud dan H. Amran SE.
Di panggung, mereka berdiri. Tegak. Tampil percaya diri. Pamase, begitu mereka disapa.
Seperti air yang mengalir tenang, jawaban mereka keluar lancar, terstruktur. Setiap kalimat mengalir, tanpa ragu.
Dengan jawaban yang kuat, penuh isi, PAMMASE memaparkan visi mereka. Wajo, kata mereka, bukan sekadar tempat tinggal.
Tapi tanah yang layak diperjuangkan, dipoles lebih cemerlang.
Keduanya bergantian bicara, seirama. Ketika satu bicara tentang jalan-jalan berlubang yang siap diperbaiki, yang lain menimpali dengan rencana peningkatan ekonomi.
Infrastruktur, sumber daya manusia, kesehatan—semua terjawab. Mereka tahu detail. Dari titik desa hingga jantung kota.
“Kami bukan hanya berjanji,” H. Amran Mahmud bicara, suaranya stabil, tapi penuh keyakinan.
“Ini komitmen. Ke depan, Wajo harus terus berbenah. Kami ingin kesejahteraan yang lebih nyata. Layanan publik yang lebih dekat dan lebih cepat.”
PAMMASE menyebut program unggulan yang telah berjalan. Bukan basa-basi, tapi program yang sudah terbukti.
Mulai dari pengembangan ekonomi masyarakat hingga sektor kesehatan. Visi mereka berlanjut, katanya, seperti lembaran yang belum usai.
Mereka ingin menulis bab berikutnya, lebih tebal, lebih bermakna.
Sorak pendukung sesekali pecah. Tepuk tangan mengiringi tiap argumen. Bagi para penonton, pasangan ini bukan sekadar calon pemimpin. Mereka sosok yang tahu, bukan sekadar bicara.
Di balik ketenangan, ada ketegasan. Di balik jawaban yang rapi, ada kerja nyata.
Debat ini bukan sekadar pertunjukan bagi PAMMASE. Ini bukti mereka paham Wajo. Mengakar.
Menyatu dengan tanah dan orang-orangnya. Dan kini, ketika hari semakin mendekat, mereka mengajak Wajo untuk melangkah bersama.
Bukan dengan janji kosong, tapi dengan bukti dan hati. PAMMASE ingin Wajo yang lebih baik, hari ini dan seterusnya.(*)
Tinggalkan Balasan