Dalam pernyataannya, Mahfud MD menilai bahwa kebijakan pengampunan koruptor bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Ia menegaskan, “Menurut hukum yang berlaku sekarang, itu tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu bisa terkena Pasal 55 KUHP karena dianggap ikut menyuburkan korupsi.”
Menanggapi kritik tersebut, Habiburokhman menyebut Mahfud MD sebagai figur yang gagal selama menjabat sebagai Menko Polhukam. “Mahfud MD ini orang gagal. Dia menilai dirinya gagal selama lima tahun menjabat, memberi skor lima dalam penegakan hukum,” kata Habiburokhman saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/12).
Habiburokhman menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak mungkin mengabaikan peraturan perundang-undangan dalam merumuskan kebijakan negara. Ia meminta agar isu pengampunan koruptor tidak disalahpahami atau dipelintir seolah-olah melanggar hukum. “Enggak mungkin Pak Prabowo itu menginstruksikan untuk mengabaikan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Habiburokhman menyindir balik Mahfud dengan menyebut kritik tersebut sebagai bentuk provokasi. “Pak Mahfud jangan menghasut bahwa Pak Prabowo mengajarkan melanggar hukum dan sebagainya. Fokuslah pada substansi pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Pernyataan Habiburokhman juga menyoroti pentingnya tidak memperdebatkan isu yang dianggapnya “remeh temeh” dibandingkan dengan langkah nyata dalam pemberantasan korupsi.
Pengampunan koruptor menjadi isu yang sensitif di tengah publik. Sebelumnya, Mahfud MD menyatakan bahwa pemberian amnesti kepada koruptor tanpa perubahan aturan dapat dianggap melanggar hukum. Menurutnya, langkah tersebut berpotensi menciptakan preseden buruk dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sementara itu, respons Habiburokhman dianggap sejumlah pihak sebagai upaya membela kebijakan pemerintahan Prabowo yang belum resmi berjalan, mengingat wacana tersebut masih dalam tahap diskusi. Habiburokhman juga mengingatkan agar semua pihak tidak terlalu cepat menilai sebelum ada kebijakan resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Aisyah Ramadhani, menilai bahwa perdebatan ini menunjukkan adanya celah komunikasi di antara elite politik. “Kritik dan respons seharusnya diarahkan pada solusi konkret, bukan saling sindir yang justru menciptakan kebingungan di masyarakat,” ujar Aisyah.
Sebagai langkah ke depan, pemerintah dan DPR perlu memberikan penjelasan lebih komprehensif terkait wacana pengampunan koruptor, termasuk dasar hukum dan manfaat yang diharapkan. Selain itu, transparansi dalam setiap pembahasan kebijakan menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.
Wacana pengampunan koruptor memang membuka ruang diskusi yang luas, tetapi perlu diingat bahwa prinsip keadilan dan supremasi hukum harus tetap menjadi landasan utama. Dalam situasi ini, kolaborasi antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan secara efektif dan berintegritas.(*)
Tinggalkan Balasan