Jakarta, indotime.com – Keputusan kontroversial baru saja diumumkan pemerintah pusat, dan kali ini dampaknya langsung menghantam para kepala daerah.

Mulai sekarang, gubernur, bupati, dan wali kota atau kepala daerah terpilih dilarang keras mengangkat staf khusus, tenaga ahli, atau tim pakar di luar mekanisme resmi.

Larangan ini disampaikan langsung oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Prof. Zudan Arif Fakrulloh, dalam rapat bersama Komisi II DPR RI pada 5 Februari 2025.

Langkah ini diambil karena banyaknya kasus pemborosan anggaran daerah yang dianggap tidak masuk akal.

Selama ini, pengangkatan tenaga ahli sering kali hanya menjadi cara untuk “membalas jasa” tim sukses kepala daerah, alih-alih berdasarkan kebutuhan nyata.

Praktik semacam ini dinilai merusak efisiensi birokrasi dan membebani keuangan daerah.

Prof. Zudan dengan tegas menyatakan bahwa kepala daerah yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi berat.

“Tidak ada lagi ruang untuk pengangkatan pegawai sembarangan. Semua harus melalui jalur resmi,” ujarnya dengan nada serius.

Ia juga menyoroti fakta bahwa jumlah pegawai administrasi di daerah sudah sangat banyak, namun tetap saja ada kepala daerah yang nekat menambah staf khusus.

“Banyak yang bilang anggaran daerah terbatas, tapi kok masih bisa angkat staf ahli? Ini kan jelas-jelas tidak masuk akal,” tambahnya.

Larangan ini tidak hanya soal aturan normatif, tetapi merupakan bagian dari strategi besar untuk merampingkan struktur pemerintahan.

Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran daerah digunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat, bukan untuk membayar “orang-orang dekat” kepala daerah.

Namun, kebijakan ini datang di saat yang tidak terlalu ideal. Saat ini, ada lebih dari 1,7 juta tenaga non-ASN yang nasibnya masih menggantung.

Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang sudah lulus seleksi PPPK tahap pertama. Sementara sisanya masih berharap-harap cemas menunggu kesempatan berikutnya.

Prof. Zudan menegaskan bahwa jika kepala daerah memang membutuhkan tenaga tambahan, satu-satunya jalan adalah melalui seleksi resmi CPNS.

Namun, rekrutmen CPNS pun akan sangat terbatas dan hanya untuk posisi-posisi strategis seperti tenaga medis spesialis atau keahlian tertentu lainnya.

Bagi kepala daerah yang selama ini terbiasa mengandalkan staf pilihan mereka, kebijakan ini jelas menjadi pukulan telak.

Mereka kini harus bekerja lebih keras dengan memaksimalkan potensi birokrasi yang ada, tanpa lagi bisa bebas memilih “orang kepercayaan”.

Tapi pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar akan dijalankan dengan konsisten? Atau justru akan menjadi sekadar aturan di atas kertas?

Mengingat budaya politik Indonesia yang sering kali sarat kepentingan pribadi, wajar jika banyak pihak skeptis soal implementasinya.

Yang pasti, masa-masa “kemewahan” kepala daerah dalam memilih tim kerja secara leluasa kini telah berakhir.

Apakah ini awal dari reformasi besar-besaran atau hanya sekadar ilusi? Kita tunggu saja bagaimana ceritanya berkembang! (*)

Dapatkan berita terbaru di Indotime.com